Aku mendamba sebuah taman. Di petak-petaknya aku ingin menanam brokoli dan melankoli. Aku ‘kan memanennya setiap sabtu, supaya bisa menikmati akhir pekan dengan sepiring brokoli campur melankoli. Kan kusantap ia dengan secentong nasi merah, dan kulap sisa-sisa makanan dengan likuor.
Di taman itu, sebentuk orang-orangan kan kudirikan, untuk mengusir gagak yang mengintai tanamanku. Aku kan memberinya seragam abri, lengkap dengan pangkat-pangkat yang mengerikan, supaya si gagak tak berani masuk menggasak brokoli dan melankoliku. Jika tidak, ia kan didor oleh pak abri.
Taman itu penuh dengan hujan. Aku tak perlu memupukinya dengan cita-cita yang jauh, karena hujan ‘kan datang tepat waktu, setiap kali tanahku mendambakan air dan tanamanku menginginkan mineral. Kemarau takkan mampir di tamanku. Ia akan stop di depan pagar dan melipir pergi tanpa permisi.
Sebuah taman, yang kugarap di tepi kota itu, akan menjelma iklim yang berontak. Ontologinya tak bernama. Filsafat akan kehilangan makna di dalamnya. Dan kita tak perlu menjadi apa-apa di luarnya. Kita hanya perlu membiarkannya tumbuh, dan ia akan memberi kita apa-apa yang secukupnya.
Sari pati banget ini. Aku baca ini sebagai teriakan. 👊
LikeLike
Intens piye dab???
LikeLike
Damn it’s bloody intense, bruv!
LikeLike