Aku ingin menjadi angin di musim semi. Dan kau membiarkanku berhembus, sesekali, di tengah hari-hari 20 derajat celcius. Lente, kata mereka. Kita mendamba matahari dan merayakan terik dengan duduk-duduk di rumput depan kampus. Menenggak bir di siang hari, seraya melupakan klise-klise di dalam kelas.
Di hari Minggu yang terik, aku bersepeda dengan kaos. Dengan kaos! Kulihat anak-anak pirang bermain bola di taman, berskate-board ria di skatepark, atau sekadar berlarian di bawah matahari. Di negeriku, di selatan dunia sana, matahari adalah semacam rutinitas yang kita abaikan. Disini, kita merindukannya mati-matian.
Hari-hari ini, musim semi memberi wajah keduanya. Suhu menukik lagi seperti bulan-bulan di musim dingin. Senyum-senyum menghilang lagi. Angin memberi gigil, sedang hujan sesekali jatuh rintik-rintik. Tapi, kita harus tetap bersyukur, bukan? Karena musim dingin sudah lalu dan musim panas kian jelang.
Beberapa bulan lagi, aku mungkin akan tersesat di hutan-hutan Siberut. Aku akan kuyup oleh hujan di pulau tropis. Mungkin aku akan merindukan Belanda di saat itu. Atau mungkin tidak. Mungkin aku hanya akan membayangkan Wageningen sebagai postcard, yang memberi imaji yang melankolis. Tak lebih, tak kurang.