Piano memberiku ingatan tentang kau yang tersenyum saat dunia masih berupa cerita-cerita yang subtil: tentang hari minggu yang membosankan, tentang telor mata sapi di penggorengan, dan sweater oranye yang kuyup kehujanan. Kita berbagi kisah yang kelak akan terlupakan, entah oleh Alzheimer atau bukan.
Aku akan mengingat senyum itu dengan gemetar dan gigil oleh narasi yang dibacakannya dengan pelan. Seperti pemabuk tua yang mengendus anggur murah di gang-gang paling kelam di kota. Aku akan menghirup masa lalu dengan sempoyongan dan meludah sekenanya di selokan yang selalu saja disepelekan.
Kita menjadi dewasa dengan pisau di dada masing-masing. Desember selalu seperti ini: mendung. Entah di Haarweg atau Taman Korea. Biarkan aku menyebrang ke sebelah dan mengintip bangku kayu tempat kita berbincang. Tentang buku yang tak lagi dibaca generasi masa kini yang mabuk dihanyut Instagram.
Senyum itu, yang mengembang sedekade lalu di sudut bangunan, memberiku melankoli yang tak tuntas-tuntas. Flores atau Sumatra atau Papua tak sanggup menyelesaikannya. Belanda, Slovenia, dan Prancis gagal membuatnya luruh. Lejar aku dihantam waktu yang tak kunjung bergerak maju. Di kepalaku yang bebal.