“Di dasar kerat-kerat bir, yang kutenggak dalam kafir….”
Aku mencari makna lewat bir dan menemukan kau bersendu. Takdir, katamu, adalah luka yang kita rawat dengan getir. Kita menanam revolusi dan membaca puisi. Tapi sensasi ada pada abstraksi, ekstasi, konklusi.
Urbanisme begitu payah. Kita kesal melihat kota-kota yang jadi asing. Reklame dan pusat keramaian manusia, dipaksa jadi alat peras. Kita mengaduk nyawa di jalanan dan pulang dengan dada yang sesak.
Kau dan aku melarikan diri ke kaleng-kaleng bir. Saat kerongkongan diguyur bahasa. Kita merayakan detik. Bukan gaji yang naik atau safari ke Afrika. Memang tak ada solusi dalam alkohol. Kita tak butuh itu.
Kita cuma mau saling bercerita. Soal hari yang tengik dan apa-apa yang hilang dalam kelana menuju dewasa. Kita menangis karena tak percaya lagi pada gereja.
Paragraf terakhir begitu getir. Krisis usia dua puluhan di kota megapolitan.
LikeLike