Kita terus memacu diri di rimba kota. Bermodalkan kendara, dan nelangsa, dan impian tentang hari tua. Kita jatuh dan terlena. Kerja, kerja, kerja pada akhirnya adalah sebuah klise. Dan kapitalisme selalu saja menang.
Tulisan demi tulisan, dan semuanya bukan untukku. Apa yang tersisa cuma kantuk dan lelah yang mengigit hari esok. Dan semuanya berputar terus, membentuk repetisi, kesia-siaan, dan kedunguan kekal saat rembulan perak ditutup langit bulan Desember.
Papua? Aku ingin ke Papua, dan Halmahera, Banda, Kei. Lalu mendamba puncak Rinjani, serta keliling Sulawesi, dari Sangihe sampai Kendari. Untuknya aku membantai hari, berkawan akrab dengan Words, tapi melupakan puisi, Bukowski, dan Theroux.
Factotum, kata Bukowski. Aku mengerjakan segala. Barbershop, Batanghari, dan Cristiano Ronaldo. Menumpuk modal ke Baliem. Dan aku kangen sekolah. Teoretika. Puitika. Dua-duanya yang terhempas di balik ribut jalan raya dan kuota dan deadline.
Suatu hari aku akan pulang ke puisi, dan tak kembali lagi.