Kematian begitu sunyi
Satu detik
Lalu gelap
Kematian selalu mengejutkan. Ia tak pernah datang dengan sopan. Selalu menyentak, menghentak, berteriak. Membikin sepotong hari menjadi absurd dan tak karuan. Kematian adalah luka. Persetan dengan pembenaran-pembenaran relijius atasnya. Alkitab dan filosofi mengajarkan banyak hal soal kematian. Tapi pernahkah kita benar-benar siap menghadapinya?
Pagi ini saya mendengar kabar Pemimpin Kelompok Kecil saya meninggal dunia. Di usia 27 tahun. Muda. Membuat saya mengingat adagium usang dari Herodotus, “whom the gods love, die young.” Di satu sisi saya tahu, entitas yang kita sebut ‘tuhan’ itu mungkin sayang kepada yang dipanggilnya. Tapi sekali lagi: benarkah kita siap menerima kenyataan yang ganjil ini?
Terlebih tidak ada tanda-tanda penyakit sebelumnya. Satu degupan jantung terakhir, lalu bam! Hal-hal seperti ini, dengan semangat Heideggerian, membuat saya merenung banyak soal kehidupan. Memaksa saya memikirkan ulang tentang apa arti hidup ini, kenapa kita hidup jika akhirnya mati juga, atau kenapa kematian selalu mengejutkan padahal siapa pun pasti mati.
Tadinya, saya ingin menulis semacam eulogi. Tapi tak sanggup lagi.
Lebih mempersiapkan kehidupan setelah mati ya kak?
LikeLike