Kepalaku ingin meledak dan memuntahkan cat berwarna-warni: ungu, jingga, kelabu. Melukis langit, membentuk mosaik yang penuh paradoks, penuh keragu-raguan, dan penuh kekosongan. Matahari kesal, lalu perlahan terbenam pada pukul dua sore. Bumi gelap gulita. Pekat. Penat. Dan lelap.
Kepalaku ingin meledak dan perutku mual-mual. Membuatku pergi ke toilet 2×3 meter dan membuang hajat dengan gegas. Di dinding dekat pintu kulihat lukisan-lukisan porno dan jorok. Di sampingnya penuh protes-protes bernada kiri, meledek kanan, tapi dengan spidol hampir habis hingga nyaris tak terlihat.
Kepalaku ingin meledak dan mataku berputar-putar seperti bianglala tanpa warna-warni, tanpa haha-hihi, tanpa aiueo. Aku seperti melihat pusaran hitam-putih dan terhipnotis. Aku meloncat dan tiduran dan meludah dan berpuisi. Dalam halusinasi aku tak merasa lelah, bahkan malah bahagia lepas.
Kepalaku ingin meledak seperti dinamit menghancurkan barak-barak tentara di medan perang. Sang jendral membuat gerakan tangan, para prajurit berlarian seperti kebelet kencing, dan api dimana-mana. Istri kehilangan suami, anak kehilangan ayah, ibu kehilangan anak. Tapi ada yang nyengir disitu.
Kepalaku ingin meledak dan memuntahkan kata-kata dari para penulis favorit: Kerouac, Hesse, Pram. Tulisan mereka silang-sengkarut dalam kertas putih yang tak lagi polos, lalu terbentuk semacam prosa yang tak jelas bicara apa. Hanya celoteh mabuk, frasa yang puitik, dan pesan yang tak terselami.