Susah sekali rasanya hidup dengan kepala dimana ada perang di dalamya. Terlalu banyak kata-kata yang saling menabrak. Hingga menjadi nihilis adalah sebuah konsekuensi yang tak bisa ditolak. Kita sedang dalam perjalanan menjadi tidak-percaya-pada-apapun. Kecuali kepercayaan bahwa kita memang sedang dalam perjalanan itu. Lalu apa yang tersisa? Kesia-siaan. Tapi bisa juga kepasrahan yang monumental.
Setelah ini, jika ada orang bicara ini dan itu, kita hanya menjadi seperti mesin atm yang patuh pada stimuli. Senyum jika orang tersenyum, tertawa jika tertawa, memasang mimik sedih jika orang itu juga begitu. Karena kita tahu semua ucapan adalah omong kosong, tak ada arti, dan penuh basa-basi. Apa yang esensial tak ada lagi, remuk oleh perang yang meledak di kepala, oleh waktu yang berlajan terlalu cepat dan terhimpit oleh sesuatu yang….banal.
Pada titik ini, semua akan tahu mengapa kapitalisme itu payah.