Balairung kala wisuda adalah khaos yang puitik.
Orang-orang berjejalan dalam ruang besar yang sesak oleh suara-suara pembesar. Motivasi terlontar, omong kosong diumbar. Segala terperangah pada momen sekali seumur hidup. Duduk dalam dua jam seremoni yang statik, acara lantas usai. Orang-orang berhamburan ke luar, ke udara terbuka. Khaos belum berhenti.
Orang mulai mencari kerabat, keluarga, orang tua, teman, dan entah siapa. Sedikit berlari atau berjalan cepat, celingak-celinguk mencari muka yang dikenal, lalu kesal karena sinyal payah di hari yang akbar itu. Keringat menetes, badan gerah dalam balutan jubah hitam yang tampak murahan. Namun pada akhirnya pertemuan terjadi.
Tak ada yang spesial, hanya tradisi yang terus mengakar. Kamera dijepret, pose dipasang, toga dilempar. Segala hanya basa-basi yang diwariskan menahun. Kemudian bunga berpindah tangan, tangan saling menjabat, peluk dan cium terbuang begitu saja. Sebentar lagi semua akan pulang, balairung sepi, dan sarjana baru meratapi nasib yang buruk.
Namun bukan berarti ia tak berarti. Bagi sebagian, wisuda adalah potret yang akan selalu dikenang. Saat dimana orang tua berbahagia setulus-tulusnya untuk anak yang dibesarkannya dengan keringat dan air mata. Sang anak tak kalah senang, memberikan sesuatu yang sebenarnya kecil saja namun bisa membuat ayah-ibu tersenyum lepas. Sangat lepas.