Saya baru selesai mandi di sore setelah siang yang gerah. Saya masih mengingat bilasan air pertama mandi sore ini. Saya mengangkat gayung berisi air dan menghentaknya menuju muka. Mata saya terpejam dibilas guyuran air yang menyegarkan itu. Tepat saat saya terpejam dan wajah dihajar air dari gayung, saya teringat momen yang sama saat berada di suatu desa di pedalaman Kalimantan.
Desa itu bernama Paking, tempat saya kuliah kerja nyata selama 23 hari. Saya tak tahu kenapa saat mata tertutup itu saya mengingat saat mandi disana. Di bilik yang kecil, tak ada bak, tak ada gayung (awalnya, sebelum seorang teman akhirnya membeli gayung), dengan air mengucur dari selang, kadang besar kadang sedikit-sedikit, saya menikmati mandi sebagai ritus yang indah.
Paking desa yang panas, terik, dan gerah. Ia pinggir sungai, bukan pantai, jadi tak ada angin. Jadi tiap waktu mandi sore merupakan kebahagiaan yang ditunggu, meski terkadang dilewatkan karena malas. Meski air dari selang ditampung di ember atau jirigen yang tak seberapa dan gayung seadanya, mandi disana sungguh nikmat. Mungkin berlebihan, tapi saya toh baru menyadarinya setelah mandi sore ini.
Saya lalu teringat pepatah Cina yang dituliskan Lin Yutang, tak seorang pun yang dapat memahami keindahan suatu perjalanan hingga dia pulang ke rumah dan merebahkan kepala di bantal kamarnya. Saya pun jadi ingat sering kangen rumah selama di desa itu, sering mengeluh, sering bosan. Hal-hal seperti itu memang tak dapat ditolak, mungkin karena itu pengalaman dalam perjalanan adalah sesal yang membikin senyum.