Senja menjingga, kau bicara soal bebas yang tak bebas
Seperti udara yang lepas berlarian kesana kemari tak terpenjara waktu dan aturan tentang ini dan itu
Menari riang di tengah himpitan jalan macet yang kusam dan bising, di puncak gunung yang lepas, di tiap lembar buku yang kau bolak balik tak jelas arah tujuan, di kaki-kaki yang menginjak becek sambil bersolek, di mulutmu yang menguap
Tapi ia hanya segenggam udara saja yang terjebak pada molekulnya, meringkuk dalam balutan kemerdekaan yang dikungkung nasib
Bebas pun seperti itu, katamu sambil menyelami mataku membuka menutup
Ia adalah ironi yang munafik dari sebuah peradaban yang ingin lari ke depan dengan menjerat tali temali yang keliru
Kata telah mati jadi makna yang kau perangkapi dengan otak yang terkotak-kotak, mengurungnya pada definisi tak pernah pasti, ia mati jadi pecundang yang tolol
Bebas tak lagi bebas, kau bunuh dengan pisau untuk merdeka sendirian, payahnya seribu mata membunuhnya, tewas lagi dengan mata menganga getir
Terkubur dalam kamus besar tentang bahasa, diam tak gerak dijejer sesuai antrian abjad, terbaring dalam kebisuan yang kau bikin lewat racun ilmu
Kamus lalu terbuang dalam hempasan badai jaman edan yang mencari bebas, berharap menemu merdeka total
Tak ada tiang tempat menyandar, tak ada ranting tempat menggantung, yang ada adalah kacau besar dan hujan dalih sembarang kata
Satu bicara seribu bahasa, tak menemu tanda sepakat, ricuh menjadi api berkobar dalam ruang yang telah panas sesak membara sejak adam hawa
Jago merah menggosong bebas dalam rongsokan sampah tak berarti, sementara aku kamu kita mereka pingsan dalam tanah merah penuh darah tempat jantung dihujam beribu kali demi mimpi seorang diri
Bebas tadinya bebas, tapi tak lagi
Kau puas membuka mulut berulang kali, menyerang dengan kalimat racau hingga keringat jatuh, kau pelan mengerem menyedot teh manis yang pahit oleh cair es
Aku ganti mengirim suara, tanya mengapung di atas kepala, kau bicara apa
Ah maaf hanya protes tentang bebas yang tak lagi bebas, kata-kata habis padamu