Masih ada pagi buatku setelah tahun kesembilan belas
Pagi yang tampaknya cerah dengan matahari yang seperti biasa tampil gagah di lubang langit yang biru segar
Burung-burung pun berkicau tenang disamping lambaian dedaunan kala angin berembun berhembus sedikit
Udara masih belum seterik siang yang mencekik, masih terasa agak sejuk meski biasa saja
Setelah tersadar sedikit, tindak tanduk manusia masih ada juga
Kesibukan ala pagi yang klasik, dimana anak sekolah adu argumen sedikit dengan orang tuanya
Ibu sibuk di dapur menata meja makan untuk bekal sepanjang hari
Yang kerja bersiap membanting tulang demi potongan rupiah
Yang menganggur hanya malas, duduk di sofa hijau mengamati kesibukan yang baginya cuma ilusi
Orang malas itu mungkin aku
Pagi itu, satu pagi setelah sembilan belas, kuhias dengan sederhana tanpa suara tanpa apa-apa
Aku disebuah sudut yang mungkin tak terlihat hanya melihat
Ternyata hidup ini-ini saja, meski pagi terus berganti dan kicau burung terus baru
Tapi untuk itulah mungkin kita patut berterima kasih
Karna meski hidup tampak membosankan, ternyata setiap harinya selalu saja ada yang baru
Selalu saja ada yang merenovasi sedikit kehidupan abu-abu yang getir ini
Selalu saja ada lukisan cerah yang walau tak banyak tapi cukup punya arti
Punya arti jika setiap orang mampu berpikir, mampu bersyukur
Dan karna ini pagi pertama setelah umur kesembilan belas
Aku tak tahu harus apa, rasanya setiap hari sama saja, bukan?
Interpretasi kita yang kadang berbeda setiap harinya
Toh langit masih sama, matahari masih sama, Tuhan pun masih sama
Tapi aku tahu setidaknya harus apa
Aku ingin melipat tangan dan membisikkan doa selembut kapas
Aku tiup kapas itu agar melayang, semakin jauh dan jauh
Hingga akhirnya mampu menembus cakrawala dan gumpalan awan putih
Menembus dunia yang lain, menembus surga
Hingga tiba di ujung telinga Tuhan, telinga yang selalu mendengar, tak pernah tidak
Ia pun yang mendengar itu tahu apa yang kubisikkan
Aku bisikkan ‘terima kasih’